BI: e-Money Tumbuh Pesat, Tapi Masih Secuil
Jakarta - Layanan uang elektronik atau yang biasa kita kenal dengan e-money diakui
oleh Bank Indonesia (BI) tumbuh pesat dari tahun ke tahun. Namun
sayangnya, dari sisi transaksi non-tunai secara keseluruhan, jumlahnya
masih sangat kecil.
"Jumlahnya tak sampai Rp 10 miliar per hari. Masih nol koma nol sekian persen dibandingkan transaksi non-tunai," kata Yura Djalins, Deputi Direktur Departemen Kebijakan & Pengawasan Pembayaran Bank Indonesia dalam diskusi IndoTelko Forum: Collaborative & Incentives: a New Breakthrough for e-Money di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (11/6/2014).
Dari data terakhir yang dikumpulkan BI, per April 2014 nilai transaksi non-tunai seperti kartu ATM atau debit mencapai Rp 11,4 triliun per hari dengan jumlah kartu 87,9 juta kartu. Sementara nilai transaksi kartu kredit Rp 690,8 miliar per hari dengan jumlah kartu 15,2 juta.
Namun di sisi lain, transaksi uang elektronik masih berjuang untuk menembus Rp 10 miliar per hari dengan hanya membukukan transaksi sebesar Rp 7,7 miliar per hari walaupun jumlah penggunanya sudah mencapai 30,4 juta.
"Itu pun transaksi e-money terbesar masih dari perbankan. Dari sisi operator masih sangat kecil, mereka cuma kebagian sekitar Rp 200 juta hingga Rp 300 juta per hari saja," sambung Yura.
Masih timpangnya e-money di sektor industri perbankan dan telekomunikasi menjadi alasan bagi BI untuk mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 16/8/2014 sebagai penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi dalam lima tahun terakhir dan mengantisipasi perkembangan yang akan terjadi di masa depan.
Dalam aturan BI ini, penerbit uang elektronik atau e-money, dilarang untuk melakukan kerja sama eksklusif serta dilarang untuk menahan nilai minimum transaksi menggunakan uang elektronik. Perubahan menarik lainnya dalam aturan ini adalah BI juga mendorong terjadinya interkoneksi top-up dan interoperability di antara sesama penerbit e-money.
Dengan demikian, itu artinya dalam babak baru e-money ini, tak ada lagi pemain industri yang dominan, baik dari pihak bank maupun operator telekomunikasi. "Semua pihak harus berkolaborasi jika ingin industri ini tumbuh pesat," kata Yura.
Saat ini ada sekitar 17 penerbit e-money di Indonesia, di antaranya Bank Central Asia, Bank Mandiri, Bank Mega, Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, BPD DKI Jakarta, Telkomsel, XL Axiata, Indosat, Telkom, Finnet, Skye Sab, dan Doku.
Meski nilainya masih kecil, diakui Yura, angka itu tumbuh signifikan dari waktu ke waktu. Transaksi e-money pada 2009 tercatat sebanyak 48 ribu kali senilai Rp1,4 miliar per hari. Pada 2010 naik menjadi 73 ribu transaksi dengan nilai Rp 1,9 miliar.
Pada 2011, transaksi kembali meningkat mencapai 112 ribu transaksi dengan nilai Rp 2,7 miliar. Di 2012, tercatat ada 219 ribu transaksi dengan nilai Rp 3,9 miliar. Itu artinya, setiap tahun transaksi e-money diperkirakan tumbuh 120%.
BI menyadari, tantangan perluasan penggunaan uang elektronik sebagai instrumen pembayaran baru di masyarakat cukup besar. Di antaranya perilaku dan preferensi masyarakat yang cenderung menggunakan uang tunai, keterbatasan pemahaman masyarakat, infrastruktur layanan yang masih terbatas dan terkonsentrasi di kota-kota besar, serta belum tersedianya platform standar.
"Sehingga saat ini masing-masing penerbit menggunakan standar yang berbeda-beda," pungkasnya.
Sumber : Detik.com
"Jumlahnya tak sampai Rp 10 miliar per hari. Masih nol koma nol sekian persen dibandingkan transaksi non-tunai," kata Yura Djalins, Deputi Direktur Departemen Kebijakan & Pengawasan Pembayaran Bank Indonesia dalam diskusi IndoTelko Forum: Collaborative & Incentives: a New Breakthrough for e-Money di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (11/6/2014).
Dari data terakhir yang dikumpulkan BI, per April 2014 nilai transaksi non-tunai seperti kartu ATM atau debit mencapai Rp 11,4 triliun per hari dengan jumlah kartu 87,9 juta kartu. Sementara nilai transaksi kartu kredit Rp 690,8 miliar per hari dengan jumlah kartu 15,2 juta.
Namun di sisi lain, transaksi uang elektronik masih berjuang untuk menembus Rp 10 miliar per hari dengan hanya membukukan transaksi sebesar Rp 7,7 miliar per hari walaupun jumlah penggunanya sudah mencapai 30,4 juta.
"Itu pun transaksi e-money terbesar masih dari perbankan. Dari sisi operator masih sangat kecil, mereka cuma kebagian sekitar Rp 200 juta hingga Rp 300 juta per hari saja," sambung Yura.
Masih timpangnya e-money di sektor industri perbankan dan telekomunikasi menjadi alasan bagi BI untuk mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 16/8/2014 sebagai penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi dalam lima tahun terakhir dan mengantisipasi perkembangan yang akan terjadi di masa depan.
Dalam aturan BI ini, penerbit uang elektronik atau e-money, dilarang untuk melakukan kerja sama eksklusif serta dilarang untuk menahan nilai minimum transaksi menggunakan uang elektronik. Perubahan menarik lainnya dalam aturan ini adalah BI juga mendorong terjadinya interkoneksi top-up dan interoperability di antara sesama penerbit e-money.
Dengan demikian, itu artinya dalam babak baru e-money ini, tak ada lagi pemain industri yang dominan, baik dari pihak bank maupun operator telekomunikasi. "Semua pihak harus berkolaborasi jika ingin industri ini tumbuh pesat," kata Yura.
Saat ini ada sekitar 17 penerbit e-money di Indonesia, di antaranya Bank Central Asia, Bank Mandiri, Bank Mega, Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, BPD DKI Jakarta, Telkomsel, XL Axiata, Indosat, Telkom, Finnet, Skye Sab, dan Doku.
Meski nilainya masih kecil, diakui Yura, angka itu tumbuh signifikan dari waktu ke waktu. Transaksi e-money pada 2009 tercatat sebanyak 48 ribu kali senilai Rp1,4 miliar per hari. Pada 2010 naik menjadi 73 ribu transaksi dengan nilai Rp 1,9 miliar.
Pada 2011, transaksi kembali meningkat mencapai 112 ribu transaksi dengan nilai Rp 2,7 miliar. Di 2012, tercatat ada 219 ribu transaksi dengan nilai Rp 3,9 miliar. Itu artinya, setiap tahun transaksi e-money diperkirakan tumbuh 120%.
BI menyadari, tantangan perluasan penggunaan uang elektronik sebagai instrumen pembayaran baru di masyarakat cukup besar. Di antaranya perilaku dan preferensi masyarakat yang cenderung menggunakan uang tunai, keterbatasan pemahaman masyarakat, infrastruktur layanan yang masih terbatas dan terkonsentrasi di kota-kota besar, serta belum tersedianya platform standar.
"Sehingga saat ini masing-masing penerbit menggunakan standar yang berbeda-beda," pungkasnya.
Sumber : Detik.com
0 comments: